Petani Indonesia Pasti Miskin dan Harus Miskin" – Benarkah?


"Petani Indonesia pasti miskin dan harus miskin."

Pernyataan ini dilontarkan oleh Bennix dalam videonya yang membahas hubungan dagang antara Indonesia dan India. Bagi sebagian orang, ini mungkin terdengar berlebihan, tetapi jika kita melihat lebih dalam, ada alasan kuat di balik kata-kata tersebut.

Pemerintah Indonesia telah membuat kesepakatan dagang dengan India yang menguntungkan sektor pertambangan. Namun, sebagai gantinya, Indonesia harus membuka pintu bagi impor beras dari India. Akibatnya, petani dalam negeri yang sudah kesulitan justru semakin terjepit. Apakah ini harga yang harus dibayar demi menjaga ekspor tambang?

Mengorbankan Petani demi Keuntungan Tambang

Saat ini, Indonesia mengekspor banyak komoditas ke India, terutama batu bara dan minyak sawit. Nilai ekspor ini sangat besar, mencapai lebih dari Rp300 triliun per tahun. Namun, perdagangan internasional harus seimbang. India tidak mau hanya menjadi pembeli tanpa bisa menjual barangnya ke Indonesia.

Karena itulah, sebagai "imbalan" atas ekspor besar-besaran barang tambang, Indonesia harus menerima impor beras dari India. Perjanjian ini membuat India dapat mengirimkan 1 juta ton beras ke Indonesia setiap tahun selama delapan tahun ke depan.

Bagi pemerintah, ini adalah strategi perdagangan. Namun, bagi petani Indonesia, ini adalah pukulan telak. Harga beras impor yang lebih murah akan membuat harga beras lokal sulit bersaing, sehingga petani semakin sulit mendapatkan keuntungan yang layak.

Kenapa Petani Selalu Dikorbankan?

Menurut Bennix, petani dijadikan sebagai tulang punggung stabilitas ekonomi. Artinya, harga beras harus tetap murah agar masyarakat perkotaan tidak terkena dampak inflasi. Jika harga beras naik, biaya hidup meningkat, dan hal ini bisa memicu keresahan sosial.

Karena itu, pemerintah lebih memilih menjaga harga beras tetap rendah, meskipun itu berarti petani harus terus hidup dalam kesulitan. Impor beras dari India semakin memperburuk keadaan, karena harga gabah dalam negeri dipatok murah, sementara biaya produksi terus naik.

Ironisnya, di saat yang sama, pemerintah menggelontorkan anggaran Rp139 triliun untuk program swasembada pangan. Namun, jika tujuan akhirnya tetap mengimpor beras, untuk apa dana sebesar itu dikeluarkan? Bukankah lebih baik uang tersebut digunakan untuk mendukung petani agar mereka bisa bersaing tanpa harus bergantung pada impor?

Apakah Harus Pasrah?

Di negara lain seperti Vietnam dan Thailand, petani tidak dibiarkan berjuang sendiri. Pemerintah mereka membeli hasil panen dengan harga layak dan memberikan perlindungan jika terjadi gagal panen. Hasilnya? Petani mereka tetap bisa hidup sejahtera, bahkan menjadi eksportir beras ke negara lain, termasuk Indonesia.

Jika Indonesia ingin petaninya keluar dari jerat kemiskinan, solusinya jelas:

  • Kurangi ketergantungan pada impor beras dan berikan insentif kepada petani lokal.
  • Tetapkan harga beli yang layak agar petani tidak selalu merugi.
  • Beri perlindungan berupa asuransi pertanian untuk mengatasi risiko gagal panen.
  • Gunakan dana swasembada pangan dengan efektif, bukan hanya untuk mencetak sawah baru, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

Kesimpulan

Bennix mengatakan bahwa "Petani Indonesia pasti miskin dan harus miskin." Jika melihat kebijakan saat ini, pernyataan itu memang ada benarnya. Petani terus-menerus menjadi pihak yang dikorbankan demi stabilitas ekonomi dan keuntungan sektor lain seperti tambang.

Namun, bukan berarti ini adalah nasib yang tidak bisa diubah. Jika pemerintah benar-benar ingin petani sejahtera, maka kebijakan yang lebih adil harus segera diterapkan. Jika tidak, maka selama-lamanya, petani Indonesia akan tetap miskin—bukan karena malas atau tidak kompeten, tetapi karena sistem yang tidak berpihak pada mereka.

Sekarang pertanyaannya, apakah kita akan terus membiarkan ini terjadi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar